Thursday, September 27, 2012

Jurnal: ANALISIS SERAPAN DAN HARGA KARBON HUTAN TANAMAN AKASIA


JURNAL TEKNOLOGI LINGKUNGAN
EDISI KHUSUS: GLOBAL WARMING. NOVEMBER 2010 Halaman 29-36
PUSAT TEKNOLOGI LINGKUNGAN
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA ALAM
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
ISSN 1441-318X
AKREDITASI:
Skep Kepala LIPI No. 816/D/2009
Skep Kepala LIPI No. 1417/D/2006
Kpts Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 34/DIKTI/Kep/2003
ANALISIS SERAPAN DAN HARGA KARBON
        HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa)
      Najib Asmani.1, Fachrurrozie Sjarkowi2, Robiyanto H. Susanto3,
          Kms.Ali Hanafiah4, Soewarso5, dan Chairil Anwar Siregar6

            1,2,3,4Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Unsri, 5PT SBA Wood Industries,
                               6 P3KHA Balitbang Departemen Kehutanan RI.

Abstract

           The critical land in Indonesia till 2008 was approximately 77.81 million hectares, 7.04 percent inside of forest area. In same period, there were 227 licences of the industrial plantation forest (IPF) companies recovered this area.  Their planted area was reaching 42.93 percent of 10.04 million hectares working area.
The result of CoP15 Copenhagen, extended REDD (Reducing Emission for Deforestation in Developing Country) program to be REDD+ to include conservation, sustainable forest management, and carbon stock enhancement. 
Developing IPF in the degraded peat land besides for wood production, also supporting to absorb and avoid emission of carbon dioxide, and if possible getting the carbon incentive. 
Research objectives were: (1). Examined potential of the additional carbon; and (2) Analyzed the carbon price
Research was in PT. Sebangun Bumi Andalas IPF concession holders at Teluk Pulai, Tulung Selapan Sub District in Ogan Komering Ilir Regency, South Sumatra Province.
The biomass was measured using the destructive sampling.  The additional carbon was estimated from: biomass, baseline, emission and leakage.  The carbon price examined from the benefit of the acacia wood and the additional carbon. 
The result showed that the mean annual increment of acacia biomass total was 33.318tons-ha-yr,and its carbon was 49.95 percent. The additional carbonif acacia did not yield was 53,289 tons CO2-ha-yr and its price was $US9.103 per ton; and if it yielded, based on carbon moved out when wood sold, was 22,659 tons CO2-ha-yr with its price was$US3.228 per ton.

Key words: acacia biomass, additional carbon, carbon price




  1. 1.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Luas lahan kritis di Indonesia hingga Tahun 2008 mencapai sekitar 77,81 juta hektar dengan kategori lahan sangat kritis sekitar 6,89 juta hektar, lahan kritis sekitar 23,31 juta hektar, dan agak kritis sekitar 47,61 juta hektar.  Dari total luas lahan tersebut, 76,04 persen berada pada kawasan hutan.  Kegiatan penghutanan kembali lahan kritis tersebut antara lain dilakukan dengan pengembangan hutan tanaman industri (HTI), yang luas telah mencapai 10,04 juta hektar9).
Hasil CoP15 Copenhagen walaupun belum ada pengikatan secara hukum, bahwa komitmen penurunan emisi dari deforestasi pada negara yang berkembang atau REDD diperluas menjadi REDD+.  Konsep REDD+ dikembangkan lebih luas mencakup kegiatan konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan persediaan karbon hutan.  Penurunan emisi yang dilakukan oleh negara berkembang perlu dilakukan secara terukur (measuring), dilaporkan (reporting) dan diverifikasi (verification) atau aspek MRV4).
Pembangunan HTI di lahan gambut masih menimbulkan kontroversi sebagai penyebab emisi karbon.  Perhitungan persediaan karbon secara terukur di lahan gambut yang terdegradasi dengan deforestasi HTI akasia dapat menjadi peluang pasar karbon bila komitmen REDD+ diratifikasi oleh pada CoP16 di Cancun Mexico.
1.2.  Tinjauan Pustaka
Kandungan karbon dioksida di udara pada tahun 1992 dan 1998 masing-masing sebesar 335 ppm dan 360 ppm, dimana pada 650.000 tahun sebelumnya kandungannya di bawah 200 ppm.  Pada masa pra-industri konsentarsinya sebesar 290 ppm1).  Keberadaan hutan tropis berperan dalam penyerapan karbon dari atmosfer, dengan kemampuan menyimpan karbon dalam produk primer bersih sebanyak 11,00 ton per hektar per tahun, lebih besar dari pada hutan iklim sedang dan gurun, dengan kemampuan masing-masing hanya sebesar 6,00 dan 0,05 ton per hektar per tahun10).
Kesepakatan Protokol Kyoto pada CoP-3 Tahun 1997, bahwa penurunan emisi dilakukan melalui skema Clean Development Mechanism (CDM). CDM merupakan suatu mekanisme penurunan emisi yang berbasis pasar, yang memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisi di negaranya, dan bagi negara berkembang berkepentingan menerapkan pembangunan berkelanjutan.  Total jatah emisi seluruh negara industri maju (emitter) untuk menurunkan emisi adalah sebesar 13.728,306 juta ton atau 13,73 Gt.  Negara-negara maju ditargetkan menurunkan emisi setara CO2 paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen Tahun 2008 – 2012 selama 5 tahun, atau 1 persen per tahun.  Pendanaan kegiatan CDM bersumber dari negara emitter dalam bentuk Certified Emission Reduction (CER), dengan harga karbon yang ditawarkan adalah sebesar $US7,0 sampai 7,5 per ton CO2.  Kegiatan reforestasi dan aforestasi dimasukkan dalam mekanisme CDM, yang diputuskan pada CoP-7 Marrakesh Maroko Tahun 2001.  Besarnya volume serapan karbon sektor kehutanan pada masa komitmen tersebut dibatasi 1 persen dari total emisi negara emitter yang ingin berinvestasi di negara berkembang, yakni sebesar 140 juta ton COper tahun atau 700 juta ton selama 5 tahun, yang diperebutkan oleh banyak negara berkembang13).

1.3.  Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya tambahan dan harga karbon dengan adanya reforestasi HTI pada lahan rawa gambut kritis atau deghradasi dengan tanamanAcacia crassicarpa Cunn. Ex Benth (akasia).
2   METODE PENELITIAN

2.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2009 bertempat  di lokasi HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industry (PT.SBAWI) Distrik Teluk Pulai Kecamatan Tulung Selapan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Analisis tanaman dan tanah dilakukan di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Unsri.
2.2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan antara lain: tanaman akasia serta serasah, tumbuhan bawah, dan tanah. Bagian-bagian pohon akasia yang dianalisis meliputi: batang, cabang, daun dan akar.
2.3 Metodologi
Metodologi penelitian penentuan kandungan karbon yakni dengan metoda destructive sampling, dengan langkah-langkah5), yakni:
1).
Pengambilan bahan tanaman, yakni:
a.Penentuan blok tanaman akasia selang umur 2 tahun dari tanaman yang sedang dipanen (5,5 tahun, 3,5 tahun, dan 1,5 tahun) dan baseline;
b.Pembuatan 4  plot pada setiap klas umur dengan ukuran 10 x 10 jarak tanam, dan 2 sub plot contoh ukuran 2 x 2 meter pada kuadran di  setiap plot, dengan total 24 sub plot;
c.Inventarisasi seluruh tegakan pada semua plot contoh, lalu   dilakukan pengukuran diameter pohon setinggi dada (DBH);
d.Pemilihan 3 pohon secara acak per plot contoh atau 12 pohon per plot, dengan jumlah semua 36 pohon contoh untuk pendugaan biomasa;
e.Penebangan   pohon contoh yang terpilih, dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon meliputi: batang, cabang, daun, dan akar, dan kemudian dilakukan penimbangan;
f.Pengukuran karbon biomasa pohon pada salah satu plot terpilih dari setiap klas umur, lalu diambil bagian-bagian pohon dari 3 pohon untuk setiap klas umur.
2).
Pengambilan  contoh  tumbuhan  bawah dan serasah (berkayu dan tidak berkayu) pada salah satu sub plot contoh dan baselinedari plot terpilih untuk dianalisis laboratorium, dengan total seluruh sebanyak 16 sub plot.  Tanaman yang berumur 1,5 tahun tidak terdapat serasah.
3).
Pengukuran biomasa baseline dari lahan yang belum ditanami sejak tahun 1996, untuk dianalisis kandungan karbonnya.
4).
Pengambilan 4 contoh  tanah setiap ke dalaman perakaran tanaman  selang  0 – 30 cm, 30 – 60 cm, dan 60 – 90 cm dengan contoh tanah sekitar 100 gram pada   sub   plot   contoh baselinedan umur 1,5 tahun yang telah mengalami satu rotasi tanam.
5).
Pengukuran kebocoran karbon dari perbandingan luas tanam dengan luas kebakaran hutan, tahun 2004 – 2009.
6).
Pencatatan data produk kayu dalam siklus produksi, biaya produksi, harga dan penerimaan dari penjualan kayu akasia.
7).
Penghitungan besarnya tambahan karbon pada kayu tanpa panen dan panen.
2.4. Pengolahan dan Analisis Data

1).Tahapan pengukuran tambahan karbon dilakukan dengan cara:
a.Pengukuran kadar air bagian-bagian contoh yang terpilih pada oven dengan suhu 103+20C sampai didapatkan berat konstan, lalu dihitung dengan rumus: Berat Biomasa = (100% – %Kadar Air) x Berat Basah Total12).  Analisis dilakukan di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Unsri.
b.Pendugaan   biomasa atas (W) dari 36 contoh tanaman untuk mendapatkan variable diameter dan tinggi tanaman dengan model  persamaan5):W = aDb;
W = a + bD + cD2;
W = a(D2H)b;
W = a + b(D2H) + c(D2H)2.
c.Penentuan bobot biomasa dari salah satu persamaan allometrik terpilih dengan variabel dari seluruh contoh tanaman terpilih.
d.Pengujian kandungan C dengan mengiris tipis-tipis contoh biomasa dan tanah, dihaluskan dengan ukuran sekitar 0,5 mm dilakukan analisis  dengan Metoda Oksidasi BasahWalkey and Black.
e.Penghitungan kebocoran karbon berdasarkan persentase kebakaran hutan dengan luas tanam dikali  dengan berat biomasa total.
f.Tambahan karbon tanaman yang dipanen (AdCtp) diperoleh dari:(AdCtp) = (C  biomasa + C baseline) – (C tanah + C kebocoran).
g.Tambahan karbon tanaman yang dipanen (AdCtp) diperoleh dari:(AdCtp) = (C  biomasa + C baseline) – (C tanah + C kebocoran).
h.Berat CO2dihitung dari perbandingan  antara  masa  atom  CO2dengan masa atom C (44/12 = 3,67), masa atom O=16 dan C=12,CO2tp = AdCtp x 3,67,
CO2dp = AdCdp x 3,67
2),  Harga Karbon
a.Harga CO2 per ton kayu pada akasia yang tidak panen dihitung dari hasil bagi antara penerimaan (benefit) kayu per tahun yang dijual dengan AdCdp, dengan setara $US1,00 sama dengan Rp9.500,00
b.
Harga CO2 per ton kayu pada akasia yang dipanen dihitung dari: indeks kayu dipanen {(t – 1)-t x CO2dp x harga CO2 tp} : (CO2tp)

  1. 3.  HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.  Tambahan Karbon Bersih

1)  Karbon Biomasa
Dari hasil penelitian, rata-rata diameter setinggi dada (DBH) akasia yakni 16,43 cm dan rata-rata tinggi tanaman 8,13 meter.  Bobot biomasa pohon sebesar 145,50 kg per pohon dengan kandungan karbon pohon  sebesar 72,68 kg per pohon.  Diperoleh kandungan karbon dari total biomasa pohon sebesar 49,95 persen. Bobot biomasa pohon yang terbesar terdapat pada batang yakni sebesar 60,51 persen, pada akar dan cabang masing-masing sebesar 20,28 persen dan 12,33 persen, dan yang terendah bobot biomasa pohon pada daun yakni sebesar 6,88 persen (Tabel 1).
Tabel 1.  Bobot biomasa dan kandungan
karbon bagian pohon akasia
No.
Bagian
Pohon
Biomasa
(kg)
Carbon
(kg)
NisbahC/
Biomasa
1.
Batang
88,04
45,61
0,5181
2.
Cabang
17,94
  8,75
0,4877
3.
Daun
10,01
  4,55
0,4550
4.
Akar
29,51
13,77
0,4669
5.
Pohon
145,50
72,68
0,4995
Pada penelitian ini, dari data bagian-bagian pohon sebanyak 36 contoh tanaman diperoleh persamaan allometrik W =   0,2415D2,258 dengan R2=0,971 dan Jumlah Kuadrat Error (JKE) = 0,223. Dengan diperolehnya persamaan allometrik tersebut maka dalam penentuan bobot biomasa pohon tidak perlu dilakukan pengukuran tinggi tanaman dan penebangan tanaman.  Variabel yang diukur dalam penentuan bobot biomasa tersebut hanya dari pengukuran diameter tanaman setinggi dada atau diameter setinggi 1,3 meter dari pangkal tanaman.
Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh bobot biomasa pohon selama satu siklus 5,5 tahun sebesar 135,603 ton per hektar per tahun, atau rata-rata sebesar 33,318 ton per hektar per tahun (Tabel 2).
Total biomasa termasuk serasah dan tumbuhan bawah per tahun yakni rata-rata sebesar 37,782 ton dengan C total sebesar 18,657 ton.  Besarnya kandungan karbon total dengan biomasa total sebesar 0,4938 atau 49,38 persen.  Nisbah antara kandungan karbon total dengan biomasa pohon adalah 0,5600 atau 56 persen (Tabel 3).  Dilaporkan2) telah diperoleh hasil penelitian  pada hutan alam tropis, diperoleh konstanta antara kandungan karbon dengan biomasa sebesar 50 persen, sebagai penduga kandungan C.
Tabel 2.  Bobot biomasa pohon
No
Plot
Umur
(tahun)
Luas Plot
 (m2)
Bobot
(kg)
1.
1,5
500
 2.765,13
2.
1,5
500
 2.611,91
3.
1,5
500
 2.726,73
4.
1,5
500
 2.662,95
5.
3,5
600
12.196,94
6.
3,5
600
13.146,33
7.
3,5
600
13.598,99
8.
3,5
600
12.913,21
9.
5,5
750
18.556,23
10.
5,5
750
19.367,24
11.
5,5
750
18.281,11
12.
5,5
750
16.776,23
Jumlah
      7.400    135.603,00
Rata-rata Berat per Hektar per Tahun:
(10.000 m2/7.400 m2 x 135.603,00 kg) : 5,5 Tahun = 33.317,69 kg per hektar per tahun
Tabel 3.   Kandungan karbon dan nisbah
antara karbon dengan biomasa
pohon contoh tanaman  akasia
Jenis
Bobot Biomasa
(ton)
Kandungan Carbon
(ton)
Nisbah Carbon/
Biomasa
Pohon
33,318
16,642
0,4995
Serasah
0,616
0,309
0,5016
Tumbuhan Bawah
3,848
1,706
0,4433
Total
37,782
18,657
0,4938
Niasbah antara  Carbon total dengan biomasa pohon
0,5600

2)  Baseline
           Lahan baseline pada tahun 1991, 1994, dan 1997 lahan tersebut mengalami kebakaran yang berulang, menyebabkan tidak berhutan lagi.  Sejak dilakukan pemanfaatan lahan tersebut dengan penanaman akasia pada Tahun 1999, kebakaran di kawasan tersebut relatif berkurang.  Terbentuknya biomasa semak belukar pada lahanbaseline tersebut dalam rentang waktu 10 tahun, mencapai 26,30 ton per hektar atau 2,63 ton per hektar per tahun.  Kondisi awal lahan gambut sebelum ditanam akasia adalah bekas lahan terbakar, tanpa ada semak belukar, dengan kandungan karbon sebesar 1,002 ton per hektar (Tabel 4)
Tabel 4.  Bobot biomasa lahan baseline
No.
Uraian
Berat
1.
2.
3.
4.
5.
Berat basah (ton/ha)Kadar air (%)
Berat biomasa (ton/ha)
Kandungan C (%)
Kandungan C biomasa (ton/ha)
13,80
81,02
 2,63
38,10
1,002
Dari laporan terdahulu diperoleh kandungan karbon pada semak belukar di lahan gambut, yakni bekisar antara 4,09 ton C per hektar atau 15,0 + 5,0 ton CO2 per hektar8).  Lahan gambut yang terbuka yang bersaluran drainase sedalam 30 sampai 90 cm, mengemisi sebesar 0,91 ton CO2 per cm per hektar per tahun7).
3)  Emisi Karbon Tanah

Dari hasil analisis tanah (Tabel 5), ternyata kandungan karbon tanah sampai kedalaman tanah 90 cm. pada tanaman umur 1,5 tahun, jika dibandingkan dengan  baseline, terjadi penurunan sebesar 11, 79 ton C per hektar dalam jangka waktu 7,5 tahun, atau sebesar 1,572 ton C atau setara 5,762 ton CO2 per hektar per tahun.
Tabel 5.  Kandungan karbon tanah pada
lahan baseline dan umur 1,5
tahun (rotasi kedua 6,5 tahun)
Uraian
Baseline
Umur 1,5 tahun
Kedaalaman gambut (cm)
150
150
Tingkat kematangan
Saprik
Saprik
Bulk Density
0,27
0,27
C-organik (%)
33,69
33,21
C-total (ton/ha)818,75  806,96
Menyusutnya kandungan karbon tanah tersebut dapat diasumsikan sebagai emisi karbon tanah, walaupun porsi antara emisi dari subsidensi dan respirasi tidak dilakukan pengamatan.  Pengamatan pada tanaman akasia di lokasi penelitian dari kesemua klas umur tanaman tidak terlihat indikasi terjadi subsidensi secara signifikan, karena akar tanaman akasia tidak terlihat menggantung.  Kandungan bahan organik tanah pada kedalaman tanah 30 cm. mengalami peningkatan pada umur 1,5 tahun yang telah memasuki rotasi tanam kedua, dari 31,31 persen menjadi 34,97 persen.
Kandungan bahan organik terjadi peningkatan pada Acacia mangium pasca panen. Kehilangan penutup tanah akibat panen menyebabkan penetrasi sinar matahari dalam peningkatan suhu tanah sehingga memacu dekomposisi residu tanaman15).
4)   Kebocoran (Leakage)
Pada HTI, kebocoran yang terjadi umumya dikarenakan kebakaran lhan.  Besarnya kebocoran dihitung dari akumulasi luas tanaman dibandingkan dengan luas areal tanam pada periode yang sama.   Penanaman akasia di lokasi PT. SBA pertama kali dilakukan pada Tahun 1999.  Pada penelitian ini penghitungan kebocoran pada periode 2004 – 2009,  selama kurun waktu 6 tahun.  Persentase luas kebakaran dari total luas tanam akasia yakni sebesar 8,42 persen,  per tahun, merupakan nisbah antara total luas kebakaran dengan total luas tanam akasia (Tabel 6).
Tabel 6.  Luas tanam dan luas kebakaran
HTI akasia periode 2004-2009 di
PT.  SBA
No.
Tahun
Luas
Tanam (ha)
Luas Kebakaran (ha)
1.
2004
  8.167,59
1.515,41
2.
2005
24.620,61
3.948,92
3.
2006
10.334,68
   174,28
4.
2007
10.328,81
       0,00
5.
2008
12.411,80
       0,00
6.
2009
  4.278,30
   265,39
Total
70.141,79
      5.904,00
Kandungan karbon biomasa akasia total yakni  sebesar 18,657 ton per hektar per tahun  (lihat Tabel 3).  Dengan demikian besarnya emisi karbon dioksida  akibat kebakaran lahan akasia sebagai suatu kebocoran yakni sebesar 1,571 ton C setara dengan 5,765 ton CO2 per hektar per tahun.
5)  Tambahan Karbon
Besarnya tambahan karbon dihitung dari total bobot biomasa dikurangi dengan baseline, emisi dan kebocoran (Tabel 7).
Penanaman akasia pada lahan rawa gambut yang terdegradasi menghasilkan tambahan karbon. Tambahan karbonnya seluruhnya sebesar 14,512 ton atau 53,259 ton CO2  per hektar per tahun sebelum dipanen kayunya, dan bila dipanen kayu meninggalkan karbon sebesar 6,174 ton atau 22,659 ton CO2 per hektar per tahun.
Tabel 7.  Tambahan karbon  tanaman
akasia yang tidak dipanen
(AdCtp) dan dipanen (AdCdp)
No.
Uraian
Rata-rata
A.
AdCtp (ton/ha/tahun)
1.
C biomasa pohon  16,642
2.
C biomasa serasah dan tumbuhan bawah    2,015
3.
C Biomasa baseline
   1,002
4.
C biomasa (A1+  A2 – A3)  17,655
5.
Emisi karbon tanah
   1,572
6.
EmisikKebocoran
   1,571
7.
Total emisi (A5 + A6)
   3,143
8.
AdCtp (A4 – A7)  14,512
9.
 Nisbah NCStp dengan:-Bobot biomasa total
-Bobot biomasa   pohon
0,3841
0,4356
B.
AdCtp (ton/ha/tahun)
1.
Biomasa pohon yang dipanen  16,693
2.
C biomasa pohon terangkut
   8,338
3.
C yang tertinggal (AdCdp)
   6,174
4.
Nisbah AdCdp dengan :-AdCtp
-Bobot biomasa total
-Bobot biomasa pohon
0,4254
0,1634
0,1813
Dilaporkan bahwa A. crassicarpa umur 4 tahun menghasilkan biomasa per tahun sebesar 38,95 ton per hektar, dengan kandung C sebesar 45 persen.      A mangium umur 7 tahun menghasilkan biomasa per tahun sebesar 27,97 ton per hektar11).  Demikian pula pada A. mangium umur 10 tahun dihasilkan karbon sebanyak 82,24 ton per hektar, yang terdiri dari biomasa pohon sebesar 78,46 ton (95,40 %) dan biomasa tanaman bawah sebesar 3,78 ton atau 4,60 persen6).  Pertambahan riap volume A. mangium yakni sebesar 34,92 m3Paraseriathea falcata sebesar 41,75 m3, dan Gmelina arborea yakni sebesar 32,09 m3per hektar per tahun16).  Produktivitas biomasa dari silvikultur hutan alam tropika bervariasi, yaitu 240 sampai 400 ton per hektar dengan  produktivitas bersih sekitar 4,0 ton berat kering per hektar per tahun3)

3.2.  Harga Karbon
Produk kayu akasia yang dipasarkan dari  PT. SBA sebesar 100 ton per hektar yang diperoleh dari kegiatan produksi selama enam tahun, dengan manfaat sebesar $US 2.910,526 per hektar14).  Dalam satu siklus enam tahun bila hamparan telah ditanami semua dengan akasia, maka akasia yang belum dipanen masih 5/6 bagian, atau sebesar 0,833.   Harga CO2 diperoleh dari besarnya manfaat dibagi dengan perolehan tambahan karbon pada akasia yang dipanen dan tidak panen.  Harga karbon dioksida bila kayu akasia tidak dipanen sebesar $US9,003 per ton, dan jika kayu dipanen harganya sebesar $US3,890 per ton (Tabel 8).
Formula penentuan harga CO2 tanpa panen (formula 1) dan panen (formula 2), yakni:
(Bt/CO2tp) x 1 $US ………………………………..(1)
{(t – 1)–t  x CO2dp x hCO2tp} / CO2tp ……….(2)
dimana: Bt adalah manfaat, tp adalah kayu tidak panen, dp adalah kayu dipanen, h adalah harga kayu, dan t adalah umur panen.
Tabel 8.  Analisis harga karbon

No.
Uraian
Nilai
A.
Asumsi 1 (Akasia Tidak Panen)
1.
Manfaat kayu  ($US)2.910,526
2.
Manfaat kayu per tahun ($US);   485,088
3.
CO2tp (ton/ha/tahun);14,682 ton C x 3,67     53,259
4.
Harga CO2 kayu tidak panen ($US/ton); (Manfaat kayu/CO2tp)       9,108
B.
Asumsi 2 (Akasia THPB)
1.
Indeks CO2tertinggal umur6 tahun: (t – 1)–t
     0,833
2.
CO2dp  (ton/ha/tahun);B1 x 6,174   ton C x 3,67     18,875
3.
Insentif  COtertinggal ($US/ha/tahun); B2 x A4   171,910
4.
Harga CO2dp  dihitung dari CO2tp($US/ton); B3/A3
      3,228
5.
Nisbah Insentif CO2 tertinggal dengan manfaat produk kayu
     0,3544
Asumsi pertama dapat dipertimbangkan sebagai dasar perhitungan bila negara emitter  qingin memberikan insentif kredit emisi karbon pada kegiatan konservasi hutan berjangka panjang (slowing growth).  Sedang asumsi kedua untuk kegiatan HTI atau HTR yang cepat tumbuh (fasting growth) yang menghasilkan tambahan karbon.
  1. 4.  KESIMPULAN

  1. Pendugaan bobot biomasa digunakan  persamaan allometrik W = 0,2415D2,258 dengan R2 = 0,971 dan JKE = 0,223, diperoleh bobot biomasa pohon sebesar 33,318    ton per hektar per tahun.
  2. Kandungan karbon pada biomasa pohon  sebesar 49,95 persen, dan pada biomasa total per hektar sebesar 56,00 persen.
  3. Tambahan karbon bersih kayu akasia tanpa panen dan panen masing-masing sebesar 14,512 ton dan 6,174 ton per hektar  per tahun.
  4. Harga karbon dioksida akasia tanpa panen dan panen masing-masing sebesar $US9,108 dan $US3,228 per ton.
UCAPAN TERIMAKASIH
Direksi dan staf PT. SBA Wood Industries, Kepala dan staf BPPHP Wilayah V, Pimpinan dan staf MRPP GTZ, dan Kepala BPPT.


DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
Al Gore.  2006.  An Inconvennient Truth.  Rodale.  New York.Brown, S.  1997.  Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a Primer.  FAO Forestry Paper No. 134.  USA:  FAO,  Page 10-13.
3.
Cheol, 2002 dalam A. Sumitro.  2005.  Ekonomi Sumberdaya Hutan, Analisis Kebijakan Revitalisasi Hutan di Indonesia.  Debut Press.  Yogyakarta.
4.
Dewan Nasional Perubahan Iklim.  2010.  Laporan Hasil CoP15/CMP5 UNFCCC Copenhagen 7-19 Desemeber 2009.  Jakarta.
5.
FORDA dan JICA.  2005.  Manual of Biomass Survey and Analysis. dalam Siregar, Chairil Anwar.  2008.  Metodelogi Pengukuran Neraca Karbon  Sektor Kehutanan.  Puslitbang Hutan dan Konservasi  Alam Balitbanghut.  Dephut–BPPT  Bogor.
6.
Heriansyah, Ika, N.M. Heriyanto, Ch. A. Siregar, dan M. Kiyoshi. 2003.  Estimating Carbon Fixation Potential of Plantation Forest.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Balitbanghut Dephut. Bogor.
7.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S.E. Page.  2006.  Peat-CO2, Assesment of COEmissions from Drained Peat Lands in SE Asia.  Wet Land International and Delft Hydraulics.  Reports Q3943. 
8.
Jauhiainen, J., H. Vasander, A. Jaya, I. Takashi, J. Heikkinen, and P. Martikinen.  2004.  Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan Indonesia.  In wise use of peatlands proceedings of the 12 th International Peat Congress, 06-11.06.2004.Tenpere. Volume 1, Paivanen, J(ed).  IPS, Jyvaskyla.  Findland. pp. 653-659.
9.
Kementerian Kehutanan RI.  2009.  Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2008.  Jakarta.
10.
11.
Killham, K. 1996.   Soil Ecology.  United Kingdom.  Cambridge University Pers. dalam Indrayanto. 2006.  Ekologi Hutan.  Bumi Aksara.  Jakarta. 
Lasco, R.D., F.P. Pulhin, J.M. Roshetko, and M.R.N. Banaticia.  2006.  LULUCF Mitigation Project in The Philippines.  ICRAF. Philippines.

12.
13.
Losi, C.J. Thomas, G.S. Richard, C. Juan.  2003.  Analysis of Alternative Methods for Estimating Carbon Stock in Young Tropical Plantations.  Forest Ecology and Management.  184. p 355 – 368.Murdiyarso, Daniel.  2005.  CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih.  Penerbit Kompas.  Jakarta.
14.
PT. SBA.  2010.  Laporan Operasional HTI Tahun 2009.  Palembang
15.
Sabaruddin, Fitri, S.N.A, dan Lestari, L.  2009.  Hubungan antara Kandungan Bahan Organik Tanah dengan Periode Pasca Tebang Tanaman HTI Acacia Mangium Willd.  Jurnal Tanah Tropika Volume 14 Nomor 2, 2009. pp105-110.
16.
Widyantoro, Bambang.  2006.  Growing Stock Menuju Sukses HTR.  Makalah pada Workshop Pasokan Kayu dari Hutan Rakyat.  PERSAKI.  Jakarta.

No comments:

Post a Comment