Friday, September 28, 2012

HTI SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI HIJAU DAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI MENUJU GREEN SOUTH SUMATRA1


Najib Asmani2

1Makalah pada Seminar dan Lokakarya Nasional HTI sebagai Kegiatan Ekonomi Hijau Kerjasama Unsri, Sinar Mas
Forestry dan BP2HP Wilayah V Palembang Tanggal 12 April 2011 di Palembang
2Dosen Agribisnis dan Ekonomi Sumberdaya Alam Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian dan Program Pasca
Sarjana Unsri Palembang Indonesia; mobile: +62811715025, email:jib_mania@yahoo.com


ABSTRAK

Keberadaan HTI di Kabupaten Ogan Komering Ilir yang merubah lahan terdegradasi menjadi hutan tanaman memberikan peningkatan manfaat sosio ekologis, ekonomi dan sosio budaya bagi masyarakat, atau manfaat sogimiya, yang dapat diperhitungkan sebagai kontribusi PDRB Hijau.  Pembangun HTI tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi dapat juga menyerap karbon dan mencegah emisi karbon, sebagai pembangunan rendah karbon dalam kegiatan ekonomi hijau.  Keberadaan HTI meningkatkan manfaat sogimiyasebesar 576,39 persen di Desa Simpang Tiga Sakti Kecamatan Tulung Selapan dan sebesar 761,44 persen di Desa Sungai Batang Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan.  Satu hektar Acacia crassicarpa Di Distrik Teluk Pulai Kabupaten OKI  PT. SBA Wood Industries Sinar Mas Grup rata-rata per tahun menghasilkan biomasa sebesar 33,318 atau setara 16,642 ton serapan C,dan nisbah C dengan pohon sebesar 49,38 persen.  Total pendama karbon biomasa atas permukaan bila kayu akasia dipanen yakni sebesar 79,805 ton C dan bila kayu dipanen sebesar 33,945 ton C per hektar dalam satu siklus 5,5 tahun.  Total pendaman karbon dengan perhitungan karbon biomasa bawah permukaan sebesar 71,567 ton C per hektar dalam siklus 5,5 tahun.
Kata Kunci:
HTI, Manfaat Sogimia, Pendaman Karbon
  1. A.    Latar Belakang
Setiap aktifitas produksi hampir selalu menyentuh keberadaan SDA disertai ancaman terhadap kelestarian mutunya.  Pemanfaataan SDA mesti didasari atas pemahaman nilai ekonominya (instrumental value, use value) dan nilai instrinsik (intrinsic value, non-use value).  Potensi bentangan suatu ekosistem  dapat diperhitungkan nilai penuh manfaat langsung dan tidak langsung, yang bersifat setempat (on-site) dan sekitar (off-site) (Sjarkowi, 2000a).
Penentuan nilai sumberdaya hutan adalah suatu cara untuk mengetahui manfaat atau kerugian dari keberadaannya, yang dapat merupakan perhitungan ekonomi hijau.  Dalam kegiatan ekonomis harus diperhitungkan perolehan manfaat harus lebih besar dari korbanan, dinyatakan dalam nilai pasar (Suparmoko, 2006).  Masyarakat atau para pelaku pembangunan dalam setiap pemanfaatan SDA dituntut memiliki kesadaran untuk visi berkelanjutan, dengan rancangan pengembangan ekosistem berwawasan lingkungan secara holistik dan terpadu (Sjarkowi, 2000b).
Kebutuhan lahan yang makin tinggi, kawasan hutan yang tersisa menjadi sasaran untuk kegiatan ekonomi dan kehidupan, dikonversi untuk berbagai keperluan.  Bahkan karena keterbatasan lahan yang berkualitas, akhirnya sasaran cenderung mengarah pada kawasan lahan rawa gambut yang vital bagi keberlanjutan ekosistem, walaupun lahan ini secara ekonomis tergolong lahan marjinal.  Pemanfaatan hutan tanpa upaya keberlanjutan akan menyebabkan permasalahan lingkungan.   (Siahaan, 2007).
Berdasarkan data Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) bahwa hutan di Indonesia pada Tahun 1991 seluas 143.970.615 hektar, dan Tahun 2003 menyusut menjadi 109.961.844 hektar, telah terjadi penciutan sebesar 34.008.771 hektar atau 23,62 persen, rata-rata 2,8 juta hektar atau 1,97 persen per tahun (Nugraha, 2004; BAPLAN Dephut 2004, dalamSrihadiono dan Sabarnurdin, 2006).  Sampai Tahun 2009, rata-rata deforestasi di Indonesia rata-rata per tahun sebesar 1,08 juta hektar (Kemenhut, 2010).  Penyebab terjadinya penciutan hutan di Indonesia karena penebangan resmi yang tidak terkontrol dan penebangan liar (illegal logging), dan dikonversi untuk bebagai keperluan lainnya.  Akibat telah terjadinya eksploitasi hutan yang berlebihan tanpa disertai konservasi, reforestasi dan aforestasi, lahan menjadi kritis tidak produktif bervegetasi semak belukar dan ilalang yang rawan kebakaran (Nandika, 2005).
Indonesia merupakan negara di dunia yang mempunyai hutan terluas diurutan ketiga setelah Brazil dan Kongo.  Sektor kehutanan merupakan penghasil devisa terbesar nomor dua setelah minyak bumi dan gas alam alam pada era 1970 hingga 1980.  Hutan memiliki peran dalam menyediaakan manfaat jasa lingkungan seperti sebagai penyerap dan penyimpan karbon, pencegah erosi dan banjir, serta pengatur sistem hidroorologis.  Manfaat hutan harus dikalkulasi tidak hanya dari manfaat kayu tetapi juga dari jasa lingkungan (Obidzinki dan Barr, 2003).  Walaupun demikian, kontribusi hutan pada nilai PDB Indonesia masih dinilai kecil, berkisar 1,30 persen (Rahmawaty, et. al., 2004).
PDB merupakan jumlah seluruh nilai tambah (added value) yang tercipta dalam suatu perekonomian negara.  Tinggi rendahnya nilai PDB mencerminkan tinggi rendahnya kemajuan perekonomian suatu negara (Samuelson dan Nordhaus, 1995).  Peningkatan PDB nasional di semua negara telah mendorong terkurasnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan.  Pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan karena menipisnya sumberdaya alam (Meadows and Meadows, 1972).   Perubahan paradigma pembangunan ke arah pembangunan yang berkelanjutan, maka indikator pembangunan harus mengalami perubahan.  Penggunaan indikator PDB yang dihitung atas dasar system of national account (SNA) harus dirubah menjadi dengan dasar PDB, yang didasari pada konsep sistem penghitungan terpadu antara lingkungan dan ekonomi atau system of integrated environmental and economic account (United Nationas Statistical Division, 1993).
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan dengan menerbitkan suatu peraturan pemerintah dalam rangka rasionalisasi pemenuhan kebutuhan kayu dan pengelolaan kawasan hutan produksi yang seimbang melalui pengembangan hutan tanaman industri (HTI) dengan PP No: 7/1990 tentang pembangunan HTI, dan Kepmenhut No: 182/Kpts-II/2003 tentang percepatan pembangunan HTI pada kawasan hutan produksi untuk memberi peluang swasta untuk membangun HTI sistem tebang habis permudaan buatan (THPB).  Sampai Tahun 2007 (priode 2004 – 2009), pembangunan HTI di Indonesia baru mencapai 3,57 juta hektar dari target 5 juta hektar (Dephut RI, 2008).   Pembangunan HTI di Sumsel dari target 1.089.240 hektar, sampai akhir Tahun 2008 baru mencapai 448.187,30 hektar (Dinas Kehutanan Sumsel, 2008). Pengelolaan hutan dan keberadaan HTI akasia untuk menghasilkan manfaat bagi pengusaha,  pemerintah, dan bagi masyarakat secara holistik dan terpadu dari aspek sosio ekologis, ekonomis, dan sosio budaya (Sjarkowi, 2007).
Kabupaten OKI Sumatera Selatan dengan luas 19.023,48 km2, memiliki kondisi geografis 75 persen dataran rendah berupa rawa lebak dan pasang surut.  Luas kawasan hutannya yakni 735.477 hektar, terdiri dari: hutan suaka alam seluas 4.828 hektar, hutan lindung seluas 105.159 hektar, hutan produksi terbatas seluas 9.986 hektar, dan hutan produksi seluas 615.504 hektar.  Tahun 1996 hingga 2000 hampir seluruh hutan rawa gambut di kawasan hutan produksi terbakar dan gambutnya cenderung terdegradsi (Dinas Kehutanan OKI, 2009).

  1. B.     Manfaat Sosio Ekologis, Sosio Ekonomis dan Sosio Budaya (Sogimiya) HTI.
Dari hasil penelitian Asmani, et. al. (2011), bahwa manfaat sogimiya keberadaan HTI Sinar Mas Grup di Desa Simpang Tiga Sakti dan Sungai Batang pada periode HTI mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya pada periode lahan masih terdegradasi.  Manfaat yang terbesar dinikmati pada manfaat sosio-ekologis, walaupun secara riel manfaat ini tidak dalam bentuk uang tunai (Tabel 1).
Tabel 1.  Manfaat sosio-ekologis, sosio-ekonomis dan sosio-
budaya (sogimiya) periode degradasi sebelum HTI
(P-Deg) dan periode HTI (P-HTI) dalam satu tahun
bagi masyarakat Simpang Tiga Sakti (STS) dan
Sungai Batang (SBT) Kabupaten Ogan Komering Ilir
Sumatera Selatan (Asmani, et. al., 2011).
Manfaat
P-Deg (000Rpy-1)=a;
P-HTI (000Rpy-1)=b
STS
SBT
STS
SBT
Sos-ekolSos-ekon
Sosbud
-89.518,3
16.638,8
-1.027,6
-114.911,0
34.043,2
-983,4
108.065,9
23.039,9
-1.335,8
215.592,9
53.378,7
-1486,0
Jumlah
-73.907,1
-81.851,2
129.770,0
267.485,6
Manfaat
Tambahan Manfaat (000Rpy-1)= (b-a)
STS
SBT
Sos-ekolSos-ekon
Sos-bud
197.584,23 (+320,72%)
6.401,15  (+38,47%)
-308,17  (+29,99%)
330.503,93  (+387,62%)
19.335,48  (+56,80%)
-502,65 (+51,11%)
Jumlah
203.677,21 (+375,58%)
349.336,76 (+526,8%)
Besarnya perolehan manfaat ekologis di Simpang Tiga Sakti yakni sebesar 97,01 persen dari total manfaatnya Rp203,68 juta rupiah, dan di Sungai Batang sebesar 94,61 persen dari total manfaatnya Rp349,34 juta  rupiah.
Menurut Suparmoko (2006), bahwa efek dari kehilangan manfaat ini adalah dapat berupa eksternalitas atau kerugian tidak langsung dari aktifitas lainnya.  Berkah dari lingkungan terhadap manusia nilainya relatif besar berdasarkan harga bayang.  Manfaat lingkungan yang secara tidak langsung seperti dari ekosistem hutan dapat merupakan suatu komoditi yang mempunyai nilai pasar dalam bentuk jasa lingkungan atau hasil hutan bukan kayu (HHBK).  Efek tidak langsung dapat saja berupa keanekaragaman hayati, perubahan iklim, menyerap emisi, menghasilkan kesegaran, dan lainnya.  Berbagai laporan hasil penelitian terdahulu tentang nilai penuh meliputi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value).  Nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung.  Nilai guna tidak langsung dapat merupakan suatu nilai tambah untuk penghitungan PDB atau PDRB, walaupun keberadaannya tidak dapat dipasarkan secara langsung.
Kramer, Sharma, dan Munasinghe (1995) telah melakukan penelitian nilai guna langsung dan nilai non guna hutan tropis di Madagaskar untuk masyarakat lokal yang mendapat kompensasi karena kehilangan akses masuk hutan, dan nilai guna tidak langsung kerugian petani padi di hilir akibat kebanjiran. Nilai kompensasi kehilangan akses masuk hutan sebesar USD 673.000 per tahun, dan nilai kerugian akibat banjir sebesar US 71.000 per tahun.
Niskanen (1997) telah melakukan penelitian nilai ekonomi dari dampak eksternal reforestasi dengan jenis Eucalypthus camaldulensia di Thailand.  Dari manfaat penyerapan karbon, perlindungan erosi, dan konsumsi air diperoleh nilai tidak lansung sebesar USD 756,16 per hektar per tahun.  Hasil penelitian Paryono et. al. (1999) diperoleh nilai total ekonomi ekosistem mangrove yakni sebesar 140,880 milyar rupiah per tahun atau sebesar 8,19 juta rupiah per hektar per tahun.  Manfaat diperoleh dari manfaat langsung dan manfaat tidak langsung berupa: pariwisata, perlindungan terhadap intrusi air laut, penyediaan hara, keanekaragaman, dan nilai eksistensi.
Hasil penelitian Rohmattika, Asmani, dan Lifianthi (2009), bahwa keberadaan HTI Grup Sinar Mas juga memberikan manfaat bagi masyarakat desa sekitar.  Pendapatan masyarakat di Desa Bukit Batu Jalur 31 Kecamatan Air Sugihan OKI, yang merupakan komunitas transmigran yang pekerjaan pokoknya sebagai petani, dengan keberadaan HTI memberikan kontribusi sebesar 32,41 persen per tahun dari total pendapatan.  Pendapatan petani yang ikut kegiatan sebagai pekerja HTI lebih besar 11,71 persen dari yang tidak ikut.  Total pendapatan setahun diperoleh dari HTI sebesar 4,2 juta rupiah dari total pendapatan 13,1 juta rupiah. Petani yang bekerja pada HTI meraih kelebihan pendapatan sebesar 17,04 persen per tahun.  Petani yang tidak bekerja di HTI menderita defisit sebesar 2,75 persen dari total pendapatannya sebesar 11,7 juta rupiah.
Meningkatnya pendapatan karena kehadiran HTI, menyebabkan pengeluaran masyarakat semakin meningkat pula.   Ini sejalan dengan Teori Maslow bahwa manusia selalu tidak puas, semakin tinggi kedudukannya atau pendapatannya, cenderung untuk menigkatkan kebutuhannya.  Manusia selalu memenuhi kebutuhan yang paling pokok dulu, baru kemudian meningkat pada yang tidak perlu (Suyanto, 2006).
Secara keseluruhan, masyarakat di Sungai Batang memperoleh manfaat sogimiya lebih tinggi dari masyarakat Simpang Tiga Sakti.  Hal tersebut dikarenakan akses masyarakat di Sungai Batang lebih luas.  Desa Sungai batang berada di Muara Sungai Batang di pinggir pantai Selat Bangka, lebih cepat mengakses ke Pulau Bangka, Palembang dan Jakarta melalui laut.  Letak desa yang strategis, menjadikan Desa Sungai Batang sebagai transit untuk pencari kerja ke perusahaan HTI.   Sedangkan masyarakat Simpang Tiga Sakti berada di pedalaman, membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam dengan spead boatmenuju Selat Bangka.
Hasil penelitian Asmani, et. al., (2011), merupakan suatu argumentasi empiris bahwa pemanfaat HTI pada lahan gambut dangkal sampai kedalaman sedang atau di bawah  kedalaman tiga meter memberikan manfaat yang positif.
C.  Pendaman Karbon Bersih
Sinar Mas Group mendapatkan konsensi HTI dari pemerintah seluas 585.425 hektar dari total 645.249 hektar hutan produksi di OKI.  Total lahan yang baru ditanam oleh PT. SBA adalah seluas 69.039,50 hektar. Dari hasil penelitian Asmani, et. al. (2011), diperoleh rata-rata diameter tanaman akasia yakni:  8,15 cm pada tanaman umur 1,5 tahun, 18,42 cm pada tanaman umur 3,5 tahun, dan 22,73 cm pada tanaman berumur 5,5 tahun.  Dari contoh bagian pohon diperoleh proporsi bobot biomasa yang tertinggi terdapat pada batang yakni sebesar 63,40 persen dari total biomasa pohon sebesar 196,16 kg. Nisbah antara kandungan C dengan bobot biomasa pohon yakni sebesar 0,49.  Selanjutnya penentuan bobot biomasa pohon didapat dari persamaan allomerik W = 0,1814D2,4103dengan R2 yakni 0,096 dan Jumlah Kuadrat Error adalah 0,276.  Bobot biomasa pohon per hektar per tahun yang dihasilkan yakni sebesar 33,318 ton. Total serapan C pohon per hektar per tahun yakni 16,642 ton (61,076 ton CO2).
Biomasa serasah dan biomasa tumbuhan bawah per hektar per tahun masing-masing sebesar 0,616 ton dan 3,846 ton.  Kandungan C serasah dan tumbuhan bawah yakni sebesar 0,309 ton C (1,134 ton CO2) dan 1,699 ton C (6,257 ton CO2) per hektar per tahun.   Total biomasa per hektar per tahun yang dihasilkan yakni sebesar 37,780 ton, C sebesar 18,656 ton dan CO2 sebesar 68,647 ton.  Diperoleh formula nisbah antara C total dengan biomasa pohon, yakni 0,55 x bobot biomasa pohon (Tabel 2.)
Tabel 2.  Biomasa total, kandungan karbon, dan nisbah C
tanaman akasia di PT. SBA Wood Industries
Sinar Mas Grup di lahan terdegradasi Distrik Teluk
                Pulai Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera
Selatan (Asmani, et. al., 2011).
No.
Komponen
Berat
(ton/ha/tahun)
1.a.
    b.
c.
d.
Biomasa pohon-Batang (63,40%)
-Cabang (6,45%)
-Ranting (7,25%)
-Daun (5,80%)
-Akar (17,10%)
Biomasa Serasah
Biomasa Tumbuhan bawah
Total
33,318
  0,616
  3,846
37,780
2.a.
b.
c.
d.
C PohonC Serasah
C Tumbuhan bawah
C Total
16,642
  0,309
  1,705
        18,656
3.a.
b.
c.
d.
CO2PohonCO2 Serasah
COTumbuhan bawah
CO2 Total
61,076
  1,134
  6,257
 68,467
4.a.
b.
Nisbah: C pohon/biomasa pohonNisbah: C total/biomasa total
Nisbah: C total/biomasa pohon
0,4995 (49,95%)
0,4938 (49,38%)
0,5599 (55,99%)
Beberapa hasil penelitian tentang riap pohon, riap tinggi dan riap diameter dari berbagai tumbuhan hutan alam dan silvikultur telah dilaporkan oleh para peneliti.  Widyantoro (2006) melaporkan bahwa riap volume rata-rata per hektar per tahun untuk tanaman:Acacia mangium yakni sebesar 34,92 m3Paraseriathea falcata yakni sebesar 41,75 m3, dan Gmelina arborea yakni sebesar 32,09 m3.  Aswandi dan Harahap (2007), dalam laporannya bahwa pada silvikutur dengan perlakukan dan penjarangan pada jenisdipterocarp pada lahan gambut Jambi dan Riau diperoleh rata-rata riap diameter pohon sebesar 0,368 dan 0,533 cm per tahun.  Hasil penelitian Undaharta, Nugroho, dan Siregar (2008), bahwa pada tanaman Dysoxylum parasiticum besarnya riap tinggi yakni berkisar antara 0,20 meter sampai 1,28 meter per tahun, dengan riap diameter berkisar antara 0,23 cm. sampai 1,45 cm. per tahun.
Bastoni (2008) melaporkan riap tinggi dan diameter jenis-jenis pohon lokal pada hutan sekunder rawa gambut ke dalaman 4 meter di Sepucuk OKI Sumatera Selatan dengan budidaya silvikultur intensif jarak tanam 5 x 4 meter.  Tanaman punak (Tetramerista glabra) dengan perlakuan pemupukan menghasil riap diameter yakni 2,33 cm per tahun (tanpa pemupukan yakni 1,03 cm), dan riap tinggi yakni 0,76 meter per tahun (tanpa pemupukan 0,4 meter).   Tanaman pulai (Alstonia pneumatophora) riap diameter yang dihasilkan yakni 2,08 cm per tahun dan tanpa pemupukan yakni 1,09 cm per tahun, sedangkan riap tinggi pada perlakuan pemupukan yakni 0,41 meter pertahun dan pada perlakuan tanpa pemupukan hanya setinggi 0,20 cm per tahun.  Riap diameter pada tanaman tembesu (Fagraea fragrans) dengan perlakuan pemupukan riap diameternya yakni 1,75 cm per tahun dan riap tingginya yakni 0,90 meter per tahun, sedangkan pemupukan riap diameternya yakni 0,87 cm dan riap tingginya yakni 0,45 cm per tahun.  Tanaman jelutung (Dyera lowil) pada gambut ketebalan 0,50 sampai 1 meter di Kutaraya OKI Sumatera Selatan dengan pemeliharaan dua kali setahun menghasilkan riap diameter yakni 1,64 cm per tahun dan riap tinggi yakni 0,59 meter per tahun.  Tanaman ramin (Indigenous species) mempunyai pertumbuhan lambat, dengan pemeliharaan intensif pada kedalaman gambut 4 meter di Air Sugihan OKI Sumatera Selatan menghasilakn riap diameter 0,75 cm per tahun dan riap tinggi yakni 0,65 meter per tahun.  Riap jenis gelam (Melaleuca leucadendron) dengan permudaan alam dan penjarangan pada jenis tanah sulfat masam potensial bergambut di Gasing Banyuasin Sumatera Selatan menghasilkan riap diameter 0,70 cm per tahun dan riap tingginya yakni 0,86 cm per tahun.  Sejalan dengan hasil penelitian Sabaruddin, Fitri, dan Lestari (2009) bahwa terjadi peningkatan bahan organik tanah pada Acacia mangium pasca panen. Kehilangan penutup tanah akibat panen menyebabkan penetrasi sinar matahari dalam peningkatan suhu tanah sehingga memacu dekomposisi residu tanaman.
Serapan CO2 oleh tanaman Acacia crassicarpa dari atmosfer diketahui dengan adanya pendaman karbon bersih atau net carbon sequence, dengan asumsi kayu tidak ditebang (NCS-tp). NCS-tp merupakan akumulasi dari serapan CO2 biomasa pohon dengan bagian bawah pohon (serasah dan tumbuhan bawah) dikurangi dengan baseline, emisi, kebocoran (leakage).  Data dapat dilihat pada Lampiran 1.
Baseline pada tanah yang terlantar yang ditumbuhi semak belukar pasca kebakaran Tahun 1999 diperoleh kandungan C rata-rata sebesar 1,002 ton per hektar per tahun.  Dari hasil analisis tanah pada lokasi penelitian ternyata kandungan C sampai kedalaman tanah 90 cm. pada tanaman umur 1,5 tahun, jika dibandingkan dengan lahan baseline,terjadi penurunan sebesar 11, 79 ton C per hektar dalam jangka waktu 7,5 tahun, atau sebesar 1,57 ton C atau setara 5,76 ton CO2 per hektar per tahun.  Menyusutnya kandungan karbon tanah tersebut dapat diasumsikan dapat terjadi subsidensi yang menghasilkan emisi karbon tanah, walaupun porsi antara emisi dari subsidensi dan respirasi tidak diketahui.  Pengamatan pada tanaman akasia di lokasi penelitian Distrik Teluk Pulai dan di lapangan dari kesemua klas umur tanaman, secara fisik tidak terlihat indikasi terjadi subsidensi, karena akar tanaman tidak terlihat menggantung.  Kandungan bahan organik tanah pada kedalaman tanah 30 cm. mengalami peningkatan pada umur 1,5 tahun yang memasuki rotasi tanam kedua, dari 31,31 persen menjadi 34,97 persen.
Besarnya kebocoran dihitung dari akumulasi luas tanaman dibandingkan dengan luas areal tanam.   Penanaman akasia pada lokasi PT. SBA pertama kali dilakukan pada Tahun 1999.  Sejak awal tanam, lokasi mengalami kebakaran hingga Tahun 2006.  Tahun 2007 dan 2008 tidak mengalami kebakaran, kemudian pada Tahun 2008 dan 2009 terjadi lagi kebakaran.  Porsi lahan tanam yang terbakar dari tahun ke tahun cenderung menurun.  Luasnya kebakaran lahan sebagai dasar perhitungan kebocoran (leakage) karbon dihitung rata-rata per tahun sejak dimulai penanaman awal Tahun 1999, atau selama rentang waktu 11 tahun hingga 2009.
Agro-ekosistem A. crassicarpa yang ditanam pada lahan gambut menghasilkan AAGBCStp dari biomasa permukaan atas (above ground biomass), yakni selama 5,5 tahun dari tiga klas umur menghasilkan sebesar 79,85 ton C atau 14,512 ton C setara 53,259 ton CO2 per hektar per tahun.  Dari laporan PT. SBA (2010), bahwa produksi kayu akasia yang dipanen atau terangkut keluar yang dihasilkan oleh PT. SBA dalam satu rotasi tanam enam tahun yakni sebesar 100,160 ton per hektar atau  sebesar 16,693 ton biomasa pohon per tahun.  Besarnya AAGBCStp atau tambahan karbon (additional carbon) pada HTI akasia THPB harus dipertimbangkan tidak hanya dari kebocoran karbon, emisi karbon, dan baseline dari kegiatan lainnya, tetapi harus memperhitungkan besarnya karbon yang terangkut pada waktu penjualan kayu.  Porsi karbon yang tertinggal tersebut dapat dipertimbangkan sebagai insentif bagi pengusaha yang mengusahakan HTI karena keberadaan HTI memberikan manfaat sosio ekologis, ekonomis, dan budaya seperti data hasil penelitian yang disajikan pada bab terdahulu.  Pada penebangan kayu sampai ke pengangkutan dapat saja terjadi sisa-sisa kayu yang tertinggal sebagai “waste” yang terdekomposisi menimbulkan emisi karbon, yang dalam penelitian ini tidak dilakukan perhitungan.
Besarnya karbon yang terangkut, dengan konstanta karbon biomasa pohon 0,4995 yakni sebesar 8,338 ton C atau 30,600 ton CO per hektar  per tahun.   Karbon yang tertinggal dengan kayu dipanen (AAGBCSdp) sebesar 33,945 ton C selama 5,5 tahun, dengan rata-rata 6,174 ton C atau 22,659 ton CO2 per hektar per tahun, atau sebesar 42,54 persen dari karbon bila kayu tidak dipanen (AAGBCStp).  Neraca AAGBCStp dan AAGBCSdp biomasa permukaan atas atau sebelum diperhitungkan pencegahan emisi kebakaran dan perhitungan pelepasan emisi dekomposisi gambut.
Perhitungan AAGBCStp pada HTI akasia dapat dipertimbangkan sebagai patokan untuk perhitungan harga karbon pada silvikultur hutan alam pada daur yang panjang yang tidak memperhitungkan manfaat dari kayu.  AAGBCSdp untuk pertimbangan pada perhitungan manfaat kayu dalam jangka pendek, asumsi disamakan dengan perolehan manfaat dari tanaman A. crassicarpa di lahan gambut terdegradasi.  Nisbah antara emisi karbon (emisi karbon tanah dan kebocoran ditambah baseline) dengan tambatan karbon biomasa permukaan atas yakni 0,2222,  yang berarti HTI akasia telah memendam karbon sebanyak 79,805 ton dari stok sebesar 102,602 ton atau 77,78 persen bila tidak dilakukan penebangan kayu.  Karbon yang terangkut keluar bila kayu akasia dipanen yakni 45,860 ton dari total 79,805 ton atau sebesar 57,46 persen, atau sebesar 44,70 persen dari stok karbon total.   Total pendaman karbon yang tertinggal akibat kayu dipanen adalah sebesar 33,945 ton dari 79,805 ton atau sebesar 42,53 persen, atau 33,084 persen dari stok karbon total.  Kegiatan silvikultur intensif dengan perlakuan pembuangan tunas (singling), penyulaman, pemupukan, pembersihan gulma, dan pemberantasan hama penyakit dapat mempengaruhi riap pohon tanaman akasia.
Penelitian tentang karbon di Filipina pada tanaman akasia, eukaliptus, dipterocarpacea, hutan sekunder dan hutan mangrove menunjukkan hasil yang bervariasi.  Kandungan karbon tanamanan dihitung dengan konversi karbon sebesar 45 persen dari berat kering biomasa.  Tanaman A. crassicarpa umur4 tahun diperoleh biomasa sebesar 155,79 ton dan 70,1 ton C per hektar.  Biomasa dan  karbon per hektar jenis akasia lainnya masing-masing yakni: Aauriculiformis adalah 63,5 ton dan 28,6 ton C, A. neriifolia adalah 87,13 ton dan 39,2 ton C,  A. holoserilea adalah 34,4 ton dan 15,5 ton C, A.  aulacocarpa adalah 56,36 ton, dan 25,4 ton C, A. mangium umur 7 tahun dengan biomasa sebesar 195,8 ton dan C sebesar 88,1 ton.  Biomasa dan kandungan karbon per hektar untuk ekaliptus masing-masing, yakni: Eucalyptus citrodora adalah 52,41 ton dan 23,6 ton C, E. cloezianaadalah 33,99 dan 15,3 ton C, E. tereticornis adalah 49,87 ton dan 22,4 ton C.   Jenis famili dipterocarpace pada umur 80 tahunan diperoleh biomasa sebesar 476,30 ton dan 183,45 ton C per hektar, atau rata-rata 2,16 ton C per hektar per tahun.  Produktivitas biomasa hutan alam sekunder sebesar 465,7 ton dan karbon sebesar 207,9 ton C, dan hutanmangrove sebesar 401,8 ton biomasa dan 176,8 ton C per hektar (Lasco et al., 2006).  Biomasa dari hutan alam tropika bervariasi antara 240 sampai 400 ton per hektar, rata-rata sekitar 4 ton per hektar per tahun (Weidelt, 1995 dalam Nugraha dan Istoto, 2007).  Pada lahan gambut tersimpan cadangan karbon sebesar 200 ton C, hutan primer sekitar 300 ton per hektar, dan pada lahan perkebunan produktif sekitar 100 ton C per hektar (Agus, 2008).
Heriansyah et al., (2003) melakukan penelitian tentang potensi fiksasi karbon pada hutan tanaman akasia (Acacia mangium) umur 10 tahun di Bogor Jawa Barat.  Kandungan karbon diperoleh sebanyak 82,24 ton per hektar, yang terdiri dari biomasa pohon sebesar 78,46 ton (95,40 %) dan biomasa tumbuhan bawah sebesar 3,78 ton (4,60%).  Penelitian yang dilakukan oleh Siringoringo, Siregar, dan Hatori (2003) tidak menemukan hubungan antara kandungan karbon dalam tanah dengan umur tegakan akasia (A. mangium) di hutan akasia Maribaya Jawa Barat.  Kandungan karbon tanah kedalaman tanah 0 sampai 30 cm pada plot tanaman umur 8 tahun sebesar 65,4 ton, dan pada plot kontrol sebesar 62,3 ton per hektar.
  1. D.     Prediksi Tambahan Pendaman Karbon
        (Additionality of  Total Biomasa Carbon
        Sequence) atau ATBCS
Keberadaan HTI pada lahan gambut yang terdegradasi diprediksi dapat menambat karbon melalui serapan biomasa tanaman yang diusahakan dan berpotensi mengurangi emisi karbon dari kebakaran gambut.  Tanpa intervensi HTI merestorasi lahan gambut kritis, besar kemungkinan gambut terus mengalami degradsi yang bisa menyebabkan kepunahan.  Di sisi lain, keberadaan HTI dengan perlakuan kanalisasi menyebabkan subsidensi, terdekomposisinya bahan organik gambut yang berpotensi melepaskan emisi karbon.
Besarnya emisi karbon akibat subsidensi gambut karena adanya kanal pada kedalaman gambut 30 sampai 120 cm yakni sebesar 0,91 ton CO2 atau setara 0,249 ton C per cm per hektar per tahun (Hooijer et al., 2006).   Ketinggian air pada lokasi penelitian berkisar antara 30 cm (musim penghujan) sampai 90 cm (musim kemarau), dengan rata-rata ketinggian 60 cm.  Besarnya emisi dari subsidensi per tahun yakni 14,940 ton C atau sebesar 82,170 ton C selama 5,5 tahun.
Berdasarkan perhitungan pendaman karbon (Asmani, et. al., 2011) pada Lampiran 2, bahwa peran penting dari keberadaan HTI yang merestorasi lahan gambut terdegradasi yakni mencegah kebakaran sumberdaya gambut  gambut.  Keberadaan HTI secara bertahap dapat mencegah degradasi dan kepunahan sumberdaya gambut.   Bila lahan gambut yang tidak terdegradasi dibiarkan tanpa dilakukan penanaman, maka dalam jangka 5,5 tahun terjadi pelepasan emisi sebesar 125,721 ton C atau sebesar 22,858 ton C per hektar per tahun.  Bila dilakukan penanaman dengan HTI walaupun terjadi dekomposisi gambut, akan terdapat surplus sebesar 71,567 ton C atau sebesar 13,012 ton C per hektar per tahun.
Pembangunan HTI pada lahan gambut merupakan pencegahan emisi dari kebakaran gambut.  Semakin dalam gambut yang dilindungi maka semakin besar pula pencegahan emisi dari lahan gambut yang terbakar. Setiap 1 cm gambut terdapat kandungan C sebesar 8,42 ton per hektar.   Asumsi bila lahan gambut yang rawan kebakaran di lokasi konsesi HTI akasia PT. SBA ditanami dengan dengan akasia, diprediksi dapat mencegah lebih banyak emisi karbon bawah permukaan (below ground biomass), atau dapat mempertahankan stok karbon gambut (Asmani, et. al., 2011).
Kehilangan karbon yang terangkut keluar dan dekomposisi gambut dapat diimbangi dengan kewajiban perusahaan HTI untuk merestorasi lingkungan.  Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 70/Kpts-II/1995 dan Nomor 246/Kpts-II/1996 tentang tata ruang.  Ketentuan dari aturan tersebut, yakni perusahaan HTI selain melaksanakan kegiatan tanaman pokok sebesar 70 persen dan 5 persen untuk infra struktur dari luasan konsensi yang diberikan, diharus melakukan kegiatan merehabilitasi atau merestorasi kawasan lindung seluas 10 persen, tanaman unggulan 10 persen, dan untuk tanaman kehidupan sebesar 5 persen.   Kewajiban kawasan lindung ditujukan untuk menjaga dan melestarikan kawasan yang bergambut, resapan air, sempadan sungai, hutan bakau, sekitar waduk atau danau, dan sumber mata air.  Tanaman unggulan adalah tanaman asli setempat yang mempunyai nilai perdagangan tinggi.  Tanaman kehidupan adalah tanaman tahunan atau jenis pepohonan yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Mengacu kepada penelitian Lasco et al. (2006) bahwa hutan alam sekunder umur 60 tahun menghasilkan karbon sebesar 176,8 ton per hektar atau 2,95 ton per tahun.  Bila ditanam di kawasan lindung HTI, sebesar 10 persen, maka diperoleh karbon sebesar 0,295 ton C per hektar per tahun, atau dapat mengurangi karbon yang terangkut keluar sebesar 3,54 persen.  Tetapi yang paling penting dari restorasi kawasan linndung oleh perusahaan HTI yakni dari aspek lingkungan seperti memperkaya keanekaragaman hayati, resapan air dan sumber mata air, dan pelestarian kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi.
E. Kesimpulan
1. Manfaat  sogimiya  pada  masyarakat  Simpang Tiga Sakti dan Sungai Batang meningkat masing-masing sebesar 375,58 persen dan 526,79 persen setelah adanya HTI.
2. Manfaat sosio ekologis keberadaan HTI meningkat 320,72 persen di Simpang Tiga Sakti dan 387,62 persen di Sungai Batang.
3.  Manfaat ekonomi   dengan  adanya   HTI pada     masyarakat Simpang Tiga Sakti dan Sungai Batang masing-masing meningkat sebesar 38,47 persen dan 56,80 persen.
4.  Peningkatan     pendapatan     diiringi     dengan
naiknya pengeluaran masyarakat sebesar 29,99 persen dan 51,11 persen di Simpang Tiga Sakti dan Sungai Batang.
  1. Bobot total biomasa akasia sebesar 37,78 ton per hektar per tahun, dengan besarnya serapan karbon sebesar 18,656 ton atau setara 68,467 ton CO2 per hektar per tahun, dengan dengan konstanta C biomasa total dengan biomasa pohon sebesar 49,38 persen.
  2. Jumlah pendaman C bila  A. crassicarpa yang pada lahan gambut bila tidak ditebang yakni sebesar 79,805 ton C, dan bila kayu dipanen sebesar 33,945 ton C dalam siklus 5,5 tahun.
  3. Total tambahan karbon dengan perhitungan biomasa bawah dari pencegahan kebakaran gambut dengan perhitungan emisi kebakaran dan dekomposisi kambut yakni sebesar 71,567 ton C per hektar dalam siklus 5,5 tahun.
                      Ucapan Terimakasih
  1. Direksi dan jajaran PT. SBA Wood Industry
  2. Kepala dan staf BPPHP Wilayah V Palembang
  3. Kepala  Desa   dan  masyarakat  Desa  Simpang Tiga  Sakti   Kecamatan  Tulung  Selapan   dan Desa  Sungai  Batang  Kecamatan  Air Sugihan Kabupaten OKI
DAFTAR PUSTAKA
  • Agus, Fahmuddin.  2008.  Environmental Risk of Farming on Peatland. International             Workshop on Post Tsunami Soil Management 1–2 Juli 2008. Indonesia Soil Research Institute. Bogor.
  • Asmani, N., F. Sjarkowi, R.S. Susanto, K.A. Hanafiah, Soewarso, C.A. Siregar.2011.  Analisis Nilai Pendaman Karbon dan Manfaat Deforestasi Ekosistem Rawa Gambut Berbasis HTI Berpola SUPK.  Disertasi. PPS Unsri.  Palembang.
  • Aswandi, dan Harahap, Rusli.  2007.  Kajian Silvikultur dan Pertumbuhan Hutan Bekas Tebangan pada Berbagai Tipe Hutan.  Prosiding Ekspose Hasil Penelitian 2007. Balai Litbang Kehutanan Sumatera.  Aek Nauli. BAPLAN Dephut RI. 2004.  Laporan Tahunan 2003.  Departemen Kehutanan RI.
  • Bastoni.  2008.  Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal (Indigenous species) Hutan Rawa Gambut.  Makalah Seminar HasilPenelitian BPK Palembang.  BPK Palembang- Balitbangda Sumatera Selatan. Dinas Kehutanan Kab. Ogan Komering Ilir. 2009.  Laporan Tahunan  2008.  Kayu Agung. Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. 2008. Statistik Kehutanan Sumatera Selatan. Palembang.
  • Heriansyah, Ika, N.M. Heriyanto, C. A. Siregar, dan M. Kiyoshi.  2003. Estimating Carbon Fixation Potential of Plantation Forest.  Pusat Litbanghut Konservasi Alam Dephut. Bogor. Hooijer, A, M. Silvius, H. Wosten, and S.E. Page. 2006. Peat-CO2, Assesment of COEmissions from Drained Peat Lands in SE Asia.  Wet Land International and Delft Hydraulics. Kementerian Kehutanan RI.  2010.  Ssosialisai Program 100 Hari Sektor Kehutanan. Jakarta
  • Kramer, RA., N. Sharna., and M. Munasinghe. 1995. Valuating Tropical Forests: Methodology and Case Study of Madagascar.  World Bank Environment Paper. Number 13.  The World Bank Bashington DC. Lasco, R.D., F.P. Pulhin, J.M. Roshetko, and M.R.N. Banaticia.  2006.  LULUCF Mitigation Project in The Philippines. ICRAF. Philippines.
  • Meadows, D.H. and D.L. Meadows.  1972. The  to Growth Limits.  New American Library.  New York. Nandika, Dodi.  2005.  
  • Hutan bagi Ketahanan Nasional.  Muhammadiyah UniersityPress Universitas Muhammadiyah Surakarta.  Surakarta. 
  • Niskanen, A.  1997.  Value of ExternalEnvironmental Impact of Reforestation in Thailand. Ecological Economic Journal No. 26 (1998). 
  • Nugraha, A. dan Y.Ed. Istoto.  2007.  Hutan, Industri dan Kelestarian. Penerbit Warna Aksara.  Tangerang.
  • Obidzinki, K.and C. Barr.  2003.  The EffectsOf Decentralization on Forest Industries in Berau District East Kalimantan.  CIFOR, Jakarta.
  • Paryono, T.J., T. Kusumasmanto, R. Dahuri, D.G. Bengen.  1999.  Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segera Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.  Jurnal Pesisir 10.  Vol. 2 No 3.  1999.
  • Rahmawaty, et. al.  2004.  Panduan Penghitungan PDRB Hijau.  KLH.Jakarta.
  • Rohmattika, H., N. Asmani, dan Lifianthi. 2009.  Dampak Pembangunan HTI Akasia PT. SBA Wood Industries Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan  Masyarakat OKI. Skripsi.  FP Unsri. Palembang (tidak dipublikasikan).
  • Sabaruddin, Fitri, S.N.A, dan Lestari, L.  2009. Hubungan antara Kandungan Bahan Organik Tanah dengan Periode PascaTebang Tanaman HTI Acacia
  • Mangium Willd.  Jurnal Tanah Tropika
  • Vol. 14 Nomor 2, 2009. pp105-110.
  • Samuelson, P.A., W.D. Nordhaus.  1995.
  • Economics.  McGraw-Hill Inc.
  • International Edition, Fifteenth Edition.
  • Siahaan, NHT.  2007.  Hutan, Lingkungan dan
  • Paradigma Pembangunan.  Penerbit
  • Pancuran Alam.  Jakarta.
  • Siringoringo, H.H., C. A. Siregar, dan H.
  • Hatori. 2003. Analysis of Soil Carbon
  • Stock of Acacia mangium Plantation in
  • Maribaya West Java.  Puslitbang Hutan
  • dan Konservasi Alam Balitbang
  • Kehutanan Dephut RI. Bogor.
  • Sjarkowi, Fachrurrozie.  2007.  Pemikiran
  • Konsepsional Menuju SUPK.  Satuan
  • Usaha Perhutanan Kerakyatan.   Jurnal
  • SUPK.   Jaringan Komunikasi Pasak
  • Bumi. Palembang.
  • Sjarkowi, Fachrurrozie.  2000a.  Ekonomi
  • Sumberdaya Alami dan Lingkungan.
  • Penerbit CV. Baldad Grafiti Press.
  • Jakarta.
  • Sjarkowi, Fachrurrozie.  2000b.  Menuju
  • Manajemen Berkelanjutan Ekosistem
  • Hutan Gambut Tropik.  Makalah pada
  • Seminar Hari  Lingkungan Hidup
  • Dunia. Tanggal 5 Juni 2000. PPS
  • Unsri.  Palembang.
  • Srihadiono, Untung Iskandar dan Sambas
  • Sabarnurdin.  2006.  Globalisasi Sektor
  • Kehutanan Indonesia.  Penerbit
  • Unwama Press.  Tangerang.
  • Suparmoko, M.  2006.  Ekonomi Sumberdaya
  • Alam dan Lingkungan.  Edisi 3.
  • BPFE. Yogyakarta.
  • Suyanto, Agus.  2006.  Psikologi Kepribadian.
  • Bumi Aksara.  Jakarta.
  • Undaharta, NKE., Nugroho, BTA., dan
  • Siregar, M.  2008.  Mean Annual
  • Increament of Dysoxylum parasiticum
  • (Osbeck) Kosterm in Eka Karya
  • Botanical Garden, Bali.  Biodiversitas
  • Volume 9 No. 4 Oktober 2008. p280-
  • 283.
  • United Nations Statical Division.  1993
  • Handbook of  Integrated
  • Environmental and Economic
  • Accounting.  New York.
  • Widyantoro, Bambang.  2006.  Growing Stock
  • Menuju Sukses HTR.  Makalah pada
  • Workshop Pasokan Kayu dari Hutan
  • Rakyat.  PERSAKI.  Jakarta.
Lampiran 1.  Neraca karbon kayu tidak panen (AAGBCStp) dan karbon kayu
dipanen  AAGBCSdp tanaman A. crassicarpa dari biomasa permukaan
atas pada ekosistem rawa gambut saprik kedalaman dangkal sampai
tengahan di lokasi PT. SBA Teluk Pulai (Asmani, et. al., 2011)
No.                STOK                      Jumlah(ton/ha/5,5tahun)No.EMISI, BASELINE                       JumlahDAN PENDAMAN        (ton/ha/5,5tahun)
   I.
1.
2.
TAMBATAN KARBONBiomasa pohon                           91,532
Biomasa serasah dan                  11,070
Tumbuhan bawah

 II.
1.
2.
III.
IV.
EMISI KARBONTanah                                                 8,646
Kebocoran                                          8,640
Jumlah    17,286
BASELINE                                         5,511
AAGBCStp; PENDAMAN             79,805
C TANPA PANEN KAYU
Jumlah Stok Karbon                102,602Jumlah Emisi dan Pendaman      102,602Karbon Bersih Tanpa Panen
                        IV.V.C TERANGKUT PANEN               45,860(biomasa kayu: 91,813
ton ha/tahun x 0,4995)
AAGBCSdp; PENDAMAN C       33,945        KAYU DIPANEN
Jumlah Stok Karbon                102,602Jumlah Emisi dan Pendaman     102,602Karbon Kayu Dipanen
Lampiran 2.  Neraca karbon  tanaman A. crassicarpa kayu dipanen dengan
perhitungan emisi kebakaran dan dekomposisi gambut pada ekosistem
rawa gambut saprik kedalaman dangkal sampai tengahan di lokasi PT.
SBA Teluk Pulai (Asmani, et. al., 2011)
No.                STOK                         Jumlah(ton/ha/5,5tahun)No.EMISI, BASELINE                   JumlahDAN PENDAMAN   (ton/ha/5,5 tahun)
   I.
1.
2.
II.
1.
2.
TAMBATAN KARBONBiomasa pohon                                    91,532
Biomasa serasah dan tumbuhan          11,070
bawah
Jumlah             102,602
PERLINDUNGAN
Kebakaran gambut                               74,767
periode degradasi
Emisi karbon dari hutan                       50,954
Gambut sekunder bekas
tebang bersih/kebakaran
Jumlah                125,721

  III.
1.
2.
3.
4.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
EMISI KARBONTanah                                                      8,646
Kebocoran (biomasa atas)                      8,640
Jumlah        17,286
Subsidensi                                            82,170
Kebakaran gambut                                 5,929
Jumlah        88,099
Total III                                              105,385
BASELINE                                            5,511
Total III + IV                                     110,896
ATBCStp (I+II) – V                       117,427
KARBON TERANGKUT                  45,860
PANEN
Total V+ VI                                        156,756
ATBCS(I+II)–VII                              71,567
Jumlah Stok Karbon  (I+II)            228,323Jumlah Emisi dan                             228,323Pendaman Karbon